Minggu, 30 Juni 2013

Keterkaitan Abnormalitas dengan Gender, Stress Dan Konsep Motivasi

Desky Avianty Fury / 11511892 / 2PA08
Keterkaitan Abnormalitas dengan Gender, Stress Dan Konsep Motivasi
·         Abnormalitas
Psikologi Abnormal merupakan salah satu cabang psikologi yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal dan cara menolong orang-orang yang mengalaminya.
Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan keyakinan-keyakinan irasional yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis mengatakan “gangguan emosi pada dasarnya merupakan terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.
·         Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana masing-masing membawa konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu:
a.     Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten, layak, berprestasi dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan bahwa seseorang  merasa tidak mampu dan tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan depresi.
b.     Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan baik dan jujur atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat dan harus dikutuk atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan marah dan agresif.
c.     Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya, tidak terlalu sukar dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa hidup adalah mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini dapat menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah terhadap frustrasi juga prokrastinasi.
Ø  Motivasi
Dari waktu ke waktu sebagian dari kita merasa cemas ketika menghadapi interview kerja yang penting atau ujian akhir.
Lalu bagaimana kita di anggap melanggar batas antara perilaku abnormal dengan normal?
Satu jawabannya adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi dapat dikatakan abnormal bila tidak sesuai dengan situasinya. Hal yang normal bila kita tertekan dalam tes tetapi menjadi tidak normal ketika rasa cemas itu muncul ketika sedang memasuki department store atau menaiki lift. Perilaku abnormal juga diindikasikan melalui besarnya / tingkat keseriusan problem. Walaupun bentuk kecemasan sebelum interview kerja dianggap cukup normal namun merasa seakan-akan jantung akan copot yang mengakibatkan batalnya interview adalah tidak normal.
Ø  Stress
VULNERABILITY – STRESS
  • Vulnerability mengacu pada satu atau sejumlah karakteristik individu yang meningkatkan peluang bagi berkembangnya suatu gangguan. Dapat berupa biologis atau psikologis. Biologis misalnya adanya kerentanan secara genetis dari orang tua, adanya abnormalitas yang diturunkan. Psikologis misalnya, orang-orang yang mempunyai keyakinan lemah terhadap agama lebih rentan terhadap munculnya depresi.
  • Stress mengacu pada suatu kondisi lingkungan individu yang menyebabkan kesulitan. Hal itu disebut stressor. Stressor dapat berupa biologis dan psikologis. Biologis misalnya kekurangan oksigen saat kelahiran atau gizi yang buruk selama kanak-kanak dapat menyebabkan disfungsi otak. Psikologis misalnya masalah kuliah, bencana banjir, tindak kekerasan orang lain, gagal tes kerja, kematian pasangan hidup, dsb.
  • Interaksi antara Vulnerability dan Stress dapat menyebabkan munculnya gangguan. Misalnya individu yang secara biologis rentan terhadap skizofrenia, jika diberi stressor yang tepat, maka kemungkinan untuk menjadi skizofrenia makin besar.
Ø  Gender
Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.
Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Gangguan Identitas Gender
Criteria diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain:
  1. Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya) 
  2. Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya 
  3. Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya. 
  4. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya 
  5. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya. 
  6. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya. 
  7. Tidak terdapat kondisi interseks. 
  8. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya. 
  9. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.
Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).
Nevid (2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif, bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka.
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender (Nevid, 2002):
  1. Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis, 
  2. Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri. 
  3. Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual
Faktor – Faktor Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.